SUARA INDONESIA SUMENEP

Produksi Gula Merah Tradisional di Sumenep Terancam Punah

Wildan Mukhlishah Sy - 25 October 2023 | 08:10 - Dibaca 952 kali
News Produksi Gula Merah Tradisional di Sumenep Terancam Punah
Proses memasak gula merah secara tradisional di Kabupaten Sumenep. (Foto: Musfik for Suara Indonesia)

SUMENEP, Suaraindonesia.co.id- Produksi gula merah dengan bahan baku sari tangkai bunga siwalan atau nira di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, kini mulai berkurang. Bahkan, proses produksi yang dilakukan melalui cara tradisional itu terancam punah.

Sebab, saat ini masyarakat yang sebelumnya bekerja untuk menyadap sari tangkai bunga siwalan, mulai berkurang. Seperti yang terjadi di Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep.

Selain usia yang bertambah tua, sehingga berpengaruh pada kemampuan fisik untuk mendaki pohon siwalan, warga setempat juga lebih memilih pekerjaan lain. Seperti kuli bangunan dan merantau.

Seorang warga setempat, Masanah mengatakan, memproduksi gula merah secara tradisional, memang bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Menurutnya, tak hanya memerlukan keahlian tersendiri, tapi juga tingkat kesabaran yang tinggi.

"Mungkin karena prosesnya agak rumit, jadi masyarakat, khususnya anak-anak muda itu tidak tertarik untuk memproduksinya," jelasnya kepada suaraindonesia.co.id, Rabu (25/10/2023).

Dia menjelaskan, proses awal produksi dimulai saat warga memanjat pohon siwalan yang sudah siap untuk disadap, biasanya dengan ukuran sekitar 15-30 meter. Penyadap kemudian meletakkan wadah berupa ember untuk menampung sari tangkai bunga siwalan, lalu membiarkannya kurang lebih 12 jam.

Cairan tersebut kemudian dimasak di atas tungku batu sekitar empat jam, bergantung pada banyaknya jumlah nira. Saat mulai mengental dan warnanya berubah menjadi kemerahan, bahan itu harus diaduk terus menerus agar tidak gosong, serta menghasilkan kualitas gula yang baik.

"Jadi tidak berhenti, harus terus diaduk. Kalau tidak, nanti gula yang bagian bawah akan gosong dan rasanya tidak enak," lanjutnya.

Masanah menambahkan, selanjutnya adonan gula merah siap dicetak ke mangkuk-mangkuk plastik atau cetakan lain, sesuai dengan kebutuhan konsumen. Selanjutnya, gula merah siap dipasarkan.

Menurutnya, gula merah berbahan nira siwalan ini hanya dibanderol dengan kisaran harga Rp 18 ribu hingga Rp 23 ribu per biji.

Dirinya menyebut, saying sekali jika produksi gula merah di wilayahnya harus terhenti, hanya karena tidak ada generasi penerusnya. Sebab, pohon siwalan menjadi salah satu potensi alam yang cukup besar di Desa Karduluk.

"Tapi kami kan juga tidak bisa memaksakan, bahwa generasi sekarang harus melanjutkan ini. Hanya saja, eman gitu," tandasnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Wildan Mukhlishah Sy
Editor : Mahrus Sholih

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya